S E J A R A H   MA S J I D   A G U N G 

 K  A  R  A  W  A  N  G 


   PERKEMBANGAN MASUKNYA AGAMA ISLAM 

KE KABUPATEN KARAWANG 


        Jalur perdagangan dan penyebaran dari pusat pemerintahan Islam di Damaskus dan Baghdad kenusantara dalam garis besarnya ada dua, yaitu : melalui daratan Tiongkok ketimur tengah yang disebut  "jalur sutra" dan melalui perlak di Aceh terus berlayar melalui Lautan India ke Gujarat dan Teluk Persia. 

      Sejak tahun 671 M, Kerajaan Melayu Tua dan Sriwijaya telah mengorganisir perdagangan rempah-rempah dan dengan menggunakan kapal dagang yang bertolak dari pelabuhan Muara sabak, dekat sungai Batanghari. Route pertama yang dipergunakan selama hampir seratus tahun adlah tetap yaitu Muara sabak, kapal pengangkut rempah-rempah melalui Cina selatan dan berhenti dulu di Cempa.Dari sini kapal berlabuh di Canton Tiongkok, kemudian barang dagangan ini diangkut oleh rombongan para pedagang yang menggunakan unta, lewat jalan darat langsung menuju Damaskus Syiria.

        Pada tahun 715 M,Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dari Dinasti Umayah, menemukan jalur perdagangan yang baru yang lebih menguntungan yaitu melalui Teluk persia terus keGujarat India, ke Perlak di Aceh, kemudian,kemudian langsung ke Kerajaan Sriwijaya. Untuk meningkatkan perdagangan dan penyebaran agama Islam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz Tahun 718 M, mengirim misi diplomatik ke Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Kalangga di Japara, sehingga perdagangan semakin menguntungkan dan Kota Damaskus menjadi kota perdagangan di Dunia. Namun tidak digunakan "jalur sutra" tentu sangat merugian Tiongkok, sihingga sehingga Kaisar dari Dinasti Tang yang memerintah abad VII-IXmelakukan penyerangan terhadap kerajaan Sriwijaya dan Raja Sirndrawarman yang telah memeluk agama Islam tewas terbunuh . 

        Kerenggangan diplomatik dengan pihak Tiongkok dapat dipulihkan kembali oleh Khalifah Harun Al Rasyid yang memerintah tahun 786-809 M, sehingga bukan saja melancarkan hubungan dagang, akan tetapi juga dalam penyebaran Agama Islam. Hal ini ditndai dengan bertambahnya Islam disumatra dan Malaka.seperti kesultanan Daya Pasai, Bandar Kapilah, Muara Malaya, Aru Baruman, dan kesultanan kuntu kampa. Perdagangan yang melalui dua jalur tadi membawa kestabilan dan pemerintahan Kesultanan Islam di Sumatra dan Malaka dan penyebaran agama Islam antara Abad VII-XV makin meluas ke kota kota  pelabuhan di pulau Jawa. Pada Tahun 1409, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan Laksamana Haji Sampo Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan mengerahkan 63 buah Kapal dengan prajurit yang berjumlah hampir 25 000 orang untuk menjalin persahabatan dengan kesultanan yang beragama Islam. Dalam Armada Angkatan Laut Tiongkok itu rupanya didikut sertaan Syeh Hasanuddin dari Campa untuk mengajar Agama Islam dikesultanan Malaka, Sebab  Syeh Hasanuddin adalah putra Ulama besar Perguruan Islam di Campa yang bernama Syeh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syeh Jamaluddin serta Syeh Jalaluddin Ulama besar Mekah. Bahkan menurut sumber lain garisketurunannya sampai kepada Syaidina Husein bin Syaidina Ali ra, menantu Rosulullah saw. Adapun pasukan angkatan laut Tiongkok  pimpinan Laksaman Sam Po Bo lainnya ditugaskan mengadakan hubungan persahabatan dengan KI Gede Tapa Syah Bandar Muara Jati Cirebon serta sebagai wujud kerjasama itu dibangunlah sebuah menara dipantai pelabuhan Muara Jati.

        Kegiatan penyebaran Agama Islam oleh Syeh Hasanuddin rupanya sangat mencemaskan penguasa Pajajran yang bernama Prabu Angga Larang, Sehingga dimintanya agar penyebaran tersebut dihentikan. Oleh Syeh Hasanuddin perintah itu dipatuhi. Kepada utusan yang datang kepadanya ia mengingatkan, bahwa meskipun Dakhwah itu dilarang, namun kelak dari ketrunan Prabu Angga Larang ada yang akan menjadi Walillulah. Beberapa saat kemudian  Syeh Hasanuddin mohon diri kepada Ki Gede Tapa sendiri, sangat prihatin atas peristiwa yang menimpa Ulama Besar, Sebab Ia pun ingin menambah pengetahuannya tentang Agama Islam. Oleh karena itu sewaktu Syeh Hasanuddin kembali ke Malaka, putrinya yang bernama Nyi Subang Karncang dititipkan ikut bersama Ulama Besar ini untuk belajar Agama Islam di Malaka.

        Beberapa waktu kemudian Syeh Hasanuddin membulatkan tekadnya untuk kembali kewilayah Kerajaan Hindu Pajajaran. Untuk keprluan tersebut, maka telah disiapkan 2 perahu dagang yang memuat rombongan para santrinya termasuk Nyi Subang Karancang. Setelah rombongan ini memasuki Laut Jawa, Kemudian memasuki Muara Kali Citarum yang ramai dilayari oleh Perahu para pedagang yang memasuki wilayah Pajajaran. Selesai menyusuri Kali Citarum ini akhirnya rombongan perahu singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang.Kedatangan rombongan Ulama Besar ini disambut baik oleh petugas Pelabuhan Karawang dan di izinkan untuk mendirikan Musholla yang digunakan juga untuk belajar mengaji dan tempat tinggal. 

 


CAHAYA PELITA ISLAM

DI PELABUHAN KARAWANG


 

        Nama Karawang berasal dari Bahasa Sunda KARAWA-AN, adalah Nama suatu kesatuan wilayah dan juga nama salah satu pelabuhan yang terletak ditepi kali Citarum pada masa pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Sebagai suatu Wilayah, Karwang sudah memegang peranan penting pada masa Pemerintahan kerajaan Tarumanegara yang berkuasa pada abad IV-VI M. Tim Arkelogi Nasional yang melakukan penelitian sejak tahun 1952 sampai sekarang, banyak menemukan peninggalan kerajaan Tarumanegara seperti bekas bangunan candi dan lain-lainnya di sekitar Desa Seragan Batu Jaya dan Desa Cibuaya. demikian juga adanya nama Patruman sebuah kampung di dekat Rengasdengklok, diduga bakas salah satu pelabuhan Tarumanegara.

        Pertama kali Citarum beberapa abad yang lalu merupakan satu-satunya pilihan untuk jalur lalu lintas bagi kelancaran kegiatan perdagangan, pemerintah dan lain-lain. Kerajaan Pajajaran sebagai penerus kerajaan Tarumanegara yang memerintah pada abad VIII untuk kepentingan yang sama.Disebutkan juga bahwa Karawang sebagai salah satu pelabuhan penting kerajaan Pajajaran, seperti halnya pelabuhan Baten, Tanggerang, Sunda Kelapa dan Bekasi. Dari Pelabuhan Karawang ramai diperdagangan barang dagangan ke pelabuhan Sunda Kelapa, seperti madu, ikan kering dan hasil pertanian yang banyak dibeli oleh para pedagang Portugis.

        Selain sebagai pelabuhan Karawang juga menjadi tampat persimpangan jalan darat dari Pakuan ibu kota krajaan Pajajaran ke Kawali (galuh). Kota yang dilewati adalah Cibarusah, Warunggede, Tangjungpura, Karawang, Cikao, Purwakarta, Sagalaherang, Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga, bferakhir di Kawali.

        Menurut Amir Sutaarga dalam bukunya "Prabu Siliwangi" halaman 58, jalan darat tersebut merupakan "High-way" nya kerajaan Pajajaran di masa itu. Sebab dengan adanya jalur jalan darat, dan kota-kota pelabuhan seperti Bnaten, Tanggerang, Sunda Kelapa, Bekasi, Karawang, maka seluruh wilayah Pajajaran terkontrol secara baik.

        Pentingnya peranan pelabuhan Karawang, bukan saja pada masa pemerintahan Pajajaran dari abad VIII sampai abad XVI  M, yakni hampir 800 tahun, akan tetapi sampai juga masa pemerintahan Sulatan Agung Mataram yang telah mengangkat Bupati Karawang pertama Adipati Singaperbangsa dan Aria Wirasaba. Bahkan sampai berakhirnya masa pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang. Pelabuhan Karawang memiliki 2 tempat penghentian.Untuk perahun yang datang dari arah Patarumanatau Laut Jawa berlabuh di Kampung Teluk Bunut. Sedangkan untuk perahu yang datang dari arah Cikao, berlabuh di kampung Nagasari Jebug. Perahun para pedagang ini tidak mau menelusuri Kali Citarum yang melingkari kampung Poponcol. Selain jaraknya cukup jauh yaitu hampir 5 Km, juga pada masa itu airnya deras dan banyak batu cadas. Sedangkan jika berhenti di pelabuhan KampungTeluk Bunut dan Nagasari, anatara kedua tempat berlabuh itu jfaraknya cukup dekat dan hanya memerlukan jalan penghubung sepanjang kira-kira 400 meter.

        Dengan adanya 2 pelabuhan tersebut maka akan timbul kegiatan muat bongkar, terjadinya jual beli sehingga dibutuhkan adanya pasar. Warung makanan minuman, tempat menginap bagi yang kemalaman. Sedangkan bagi petugas perwakilan pemerintah Pajajaran ada kegiatan memelihara keamanan dan ketertiban, pengawasan lalu lintas barang dan orang bepergian dan sebagainya.

        Ke Pelabuhan Karawang dengan kesibukan seperti dijelaskan itulah, rombongan Syeh Quro dengan 2 perahunya itu singgah yang menurut Buku Rintisan Sejarah Masa Silam Jawa Barat terbitan tahun 1983-1984 disebut Pura Dalem. Mungkin yang dimaksud ialah kota (pura) dimana ada kegiatan petugas pemerintah di bawah kewenangan jabatan Dalem. Yang tidak lain ialah pelabuhan Karawang. Rombongan Ulama Besar ini lazimnya sangat menjunjung peraturan kota pelabuhan yang dikunjungi, sehingga aparat setempat sangat menghormatinya dan memberi izin untuk mendirikan musholla yang digunakan tempat untuk mengaji atau peasntren dan sekaligus sebagai tempat tinggal. Lokasi yang dipilih untuk keperluan itu tentu tidak begitu berjauhan dengan kegiatan pelabuhan. Setelah beberapa waktu berada dipelabuhan Karawang, Syeh Quro menyampaikan Da'wahnya di Musholla yang dibangunnya penuh keramahan. Uraiannya tentang Agama Islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, Karena Ia bersama santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al Qur'an  memberikan daya tarik tersendiri, karena Ulama Besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatkan masuk Islam.

        Berita tentang dakwah Syeh Quro di pelabuhan Karawang rupanya telah terdengar Prabu Angga Larang yang pernah melarang Syeh Quro melakukan kegiatan yang sama  ta'kala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon, seperti sudah disinggunkan pada bab II terdahulu. Sehingga ia segera mengirim utusan yang dipimpin oleh putera mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup Pesantren Syeh Quro. Namun ta'kala putera mahkot ini tiba ditempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu pembaca ayat-ayat suci Al Qur'an yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Karancang. Putar Mahkota yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi, itu mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Karancang yang cantik itu. Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyi santri dengan syarat maskawinnya harus "Bintang Saketi" yaitu simbol dari "tasbeh" yang berada di Negeri Mekah. Sumber lain menyatakan bahwa, hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu harus masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Isalam. Selain itu, Nyi santri juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak harus ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa, sehingga beberapa waktu ke mudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro atau Mesjid Agung sekarang dan Syeh Quro bertindak sebagai penghulunya.

        Perkawinan di musholla yang senantiasa mengAngukan asma Allah SWT itu memang telah membawa hikmah yang besar. Para putera puteri yang dikandung oleh Nyi Subang Karancang yang muslimah itu, memancarkan sinar IMAN dan ISLAM bagi umat di sekitarnya. Nyi Subang Karancang sebagi isteri seorang Raja memang harus berada di Istana Pakuan Pajajaran, dengan  tetap memancarkan Cahaya Islam. Putera pertama yang laki-laki bernama Raden Walangsungsang setelah melewati usia remaja, maka bersama adiknya yang bernama Raden Rara Santang, meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran kemudian mendapat bimbingan dari Ulama Besar yang bernama Syeh Dzatul Kahfi di Paguron Islam di Cirebon. Setelah kakak beradik ini menunaikan ibadah Haji, maka Raden Walangsungsang menjadi Pangeran Cakrabuana memimpin pemerintahan Nagari Caruban Larang, Cirebon. Sedangkan Raden Rara Santang waktu di Mekah diperistri oleh Sulatan Mesir yang bernama Syarif Abdillah. Adik Raden Walangsungsang yang bungsu adalah laki-laki bernama Raden Kian Santang, pada masa dewasanya menjadi Munaligh untuk menyebarkan Agama Islam di daerah Garut.

        Adapun Raden Nyi Mas Rara Santang setelah kawin dengan Syarif Abdillah, namanya diganti menjadi Syarifah Muda'im. Dari perkawinan ini mereka dikarunai dua orang putera masing-masing bernama Syarif Hidayatullah, dan Syarif Nurullah. Setelah ayahnya meninggal dunia jabatan sultan diserahkan kepada Syarif Nurullah, sebab Syarif Hidayatullah setelah menimba ilmu Agama yang luas dari para Ulama Mekah dan Bagdad, ia bertekad untuk menjadi Mubaligh di Cirebion. Demikianlah tahun 1475 ia bersama ibunya berlayar ke Cirebon dan kedatangnya disambut dengan penuh kebahagiaan oleh Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat. Setelah usia Pangeran Cakraningrat cukup tua, Syarif Hidayatullah dipercaya untuk menggantikan kedudukannya dengan gelar Susuhunan atau Sunan. Pengangkatan Syarif Hidayatullah tersebut mendapat dukungan terutama dari Raden Fatah, Pemimpin Pesantren dan Sunan Bintoro, putera Raja Majapahit Brawijaya V, yang diangkat menjadi Sulatan Kerajaan Islam Demak I. Dalam rangka pembangunan Mesjid Agung Demak, Sunan Cirebon diundang untuk menetapkan kebijaksanaan tentang penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa. Sidang para Sunan yang dikenal Wali Songo itu juga menetapkan bahwa Syarif Hidayatullah diangkat menjadi ketua atau pimpinan dari Wali Songo, dengan gelar Sunan Gunung Jati. Dengan demikian apa yang dikatakan oleh Syeh Quro, bahwa kelak dari keturunan Raja Pajajaran ada yang menjadi Waliyullah, dan permohonan Nyi Subang Karancang perkawinannya dengan Prabu Siliwangi ada yang menjadi Raja, telah menjadi kenyataan. Sejarah juga mencatat, bahwa dengan berkembangnya kerajaan Islam yang mendapat dukungan dari Wali Songo, maka pengaruh kerajaan Majapahit dan Pajajaran semakin memudar. Bahkan pada tahun 1579 M, kerajaan Pajajaran lumpuh sama sekali akibat dikalahkan oleh Syeh Yusuf itu adalah Putera Sultan Hasanuddin atau cucu Sunan Gunung Jati, yang tidak lain masih keturunan Nyi Subang Karancang dari perkawinannya dengan Prabu Siliwangi yang diselenggarakan di Mesjid Agung Karawang.

        Adapun kegiatan pesantren Quro yang lokasinya tidak jauh dari pelabuahan Karawang, rupanya kurang berkembangnya karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah kerajaan Pajajaran. Hal tersebut rupanya dimaklumi oleh Syeh Quro, sehingga pengajian di pesantren agak dikurangi, dan kegiatan di Masjid lebih dititik beratkan pada ibadah seperti sholat berjamaah. Kemudian para santri yang telah berpengalaman disebarkan kepedesaan untuk mengajarkan Agama Islam, terutama daerah Karawang bagian Selatan seperti Pangkalan. Demikian juga kepedesaan dibagian Utara Karawang yang berpusat di Desa Pulo Kalapa dan sekitarnya. Banyak hal yang menarik dalam cara penyebarannya Agama Islam oleh Syeh Quro antara lain :

1. Sebelum menyampaikan ajaran Islam dibangunnya terlebih dahulu sebuah Masjid, seperti halnya yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Rosulullah SAW, sewaktu melakukan Hijrah  dari Mekah ke Madinah, maka beliau terlebih dahulu membangun Masjid Quba.

2. Dalam menyampaikan ajaran Islam ditempuhnya melalui pendekatan yang disebut Dakwah Bil Hikmah, sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur'an surat XVI An Nahl ayat 125, yang artinya : "Serulah kejalan tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan pelajaran yang baik, dan bertukar fikiranlah dengan mereka dengan cara yang terbaik". 

3. Sebelum memulai Dakwahnya, telah disiapkan para kader penyebaran Agama Islam (Mubaligh-Mubalighoh) yang mampu berhubungan dengan masyarakat, termasuk Nyi Subang Karancang. Syeh Quro sangat memperhatikan situasi kondisi masyarakat dan sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya.

4. Para Ulama dan tokoh masyarakat kebanyakan berpendapat bahwa tempat pengabdian Syeh Quro sampai akhir masanya, ialah di Desa Pulo Kalapa Kecamatan Lemah Abang.

5. Pengabdian Syeh Quro demgam para santri dan para Ulama generasi penerusnya adalah " menyalakan pelita Islam", sehingga sinarnya memancarkan terus di Karawang dan sekitarnya.

        Dalam semaraknya penyebaran Agama Islam oleh Wali Songo, maka masjid yang dibangun oleh Syeh Quro, kemudian disempurnakan oleh para Ulama dan Umat Islam yang modelnya berbentuk "joglo" beratap 2 limasan, hampir menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon.


PEMBINAAN MASJID AGUNG OLEH

PARA ULAMA DAN BUPATI KARAWANG


        Dalam sejarah pembinaan masjid Agung ada 3 unsur yang melakukan pembinaan, dalam arti memimpin peribadahan, pemeliharaan dan pengembangan bangunan masjid yaitu para Ulama dan tokoh masyarakat, para jemaah serta para Bupati. Adipati Singanperbangsa yang menjabat sebagai Bupati Karawang pertama antara tahun 1633-1677 M, semula ia berkantor di daerah Udug-udug. Kemudian karena berbagai pertimbangan, ia memindahkan pelabuhan Karawang. Pilihan tersebut tentu karena di tempat ini telah ada pasar, ada masjid Agung, dan sarana penunjang lain, termasuk pelabuhan itu sendiri yang meperlancar kegiatan lalu lintas perdagangan, pemerintah, dan sebagainya. Oleh karena itu di dekat masjid Agung dibangun antara lain; alun-alun yang ditanami 2 pohon beringin di bagian kanan kirinya, kantor dan pendopo kebupaten, kantor keamanan dan tempat tahanan. Sehingga lingkungan pendopo kabupaten itu mencerminkan seuatu kegiatan pemerintah yang menjunjung aspirasi masyarakat yang demokratis, pemerintah memelihara budi pekerti rakyatnya, agar selain taat kepada pemerintah, juga taat kepada Allah dan Rosulnya. Untuk meningkatkan budi pekerti warga masyarakat maka Bupati adipati Singaperbangsa memperindah bangunan masjid dan direnovasi diselaraskan dengan kantor / pendopo kabupaten yang baru dibangun. Menurut Dra. Eny Suhaeny dan Drs. Tugiyono Ks dalam bukunya "Sejarah terbentuknya Kabupaten Karawang" halaman 22, Drs Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa masjid AgungKarawang menggunakan model, bentuk dan kontruksi pasak yang sama modelnya dengan masjid Demak, meskipun besar bangunannya tidak sama. Penataan suatu kantor kabuipaten dengan memasukan unsur Alun-alun dan masjid serta kantor-kantor pendukung lainnya adalah sejalan dengan sistem pemerintahan kesultanan Islam pada masa itu atas gagasan Sunan Kali Jaga salah seorang anggota Wali Songgo yang menjadi penasehat kesultanan Islam pertama Bintoro atau Demak. Sebagaimana dimaklumi bahwa Bupati Karawang pada waktu itu merupakan bawahan dari Sulatan Agung yang bertekad untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa dan sekitarnya dimana Karawang dipersiapkan sebagai pusat penyerangan tentara Mataram terhadap kedudukan tentara VOC atau Kompeni di Batavia, dan Karawang juga harus menjadi lumbung padi sebagai pusat logistik dari peperangan tersebut. Hampir selama 44 tahun Adipati Singaperbangsa melaksanakan tugas pemerintahannya dengan memfungsikan masjid Agung sebagai tempat beribadah dan memotivasi masyarakat agar berperan serta dalam menunaikan tugas-tugas kenegaraannya.

        Setelah Adipati Singaperbangsa meninggal dunia yang dimakamkan di Manggung Ciparage pada tahun 1677 M, tiga Bupati penerusnya tidak berkantor di Babakan Kartayasa, melainkan berkantor di daerah Pangkalan. yaitu ; Raden Anom Wirasuta atau Panatayda I yang menjabat Bupati antara Tahun 1677 - 1721 M, berkantor di Waru dekat Loji, dan Radeb Martanegara atau Panatayuda III menjabat antara tahun 1732 - 1752 M, juga berkantor diWaru Pangkalan. Rupanya Masjid Agung yang telah direnovasi oleh Adipati Singaperbangsa, tidak lagi diadakan penambahan dimasa pemerintahan Bupaati Karawang II,III,dan IV. Pada masa Bupati V yaitu Raden Muhamad Soleh atau Panatayuda IV,Kantor bupati dipindahkan kembali ke Babakan kertayasa. Bupati V  ini memerintah antara tahun 1752 - 1786 M, dikenal sebagai dalem Balon. Rupanya Bupati ini mendapat kehormatan "naik nalon". Dari pemerintahan Kolonial Belanda, dan pada waktu itu hal tersebut  jarang terjadi.Ia termasuk pembina Masjid Agung, dan waktu meninggal Dunia ia dimakam kan dekat Masjid ini, tahun 1993 atas persetujuan para sesepuh, kerangka jenazahnya dipindahkan dan dimakamkan kembali dikomplek makam Bupati Karawang di Desa Manggung Jaya Cilamaya. 

        Sejak masa Bupati Karawang VI  sampai Bupati Karawang IX yakni antara tahun 1786 - 1827, tidak ada petunjuk dilakukannya perbaikan yang berarti apalagi perluasan bangunan dan sebagainya.Sebab sejak tahun 1827 para Bupati Karawang IX sampai bupati XXI atas kebijakan pemerintahan Kolonial Belanda tidak lagi berkantor dikota Karawang melainkan keWanayasa dan Purwakarta, Sehingga sapat dipahami apabila para Bupati yang berkedudukan di Wanayasa dan Purwakarta perhatiannya kurang terhadap pembinaan Masjid Agung secara langsung, kemunginan dipercayakan kepada wedana atau camat yang bertugas dikota Karawang.

        Setelahberlakunya Undang Undang no 14 tahun 1950 tentang pembentukan daerah daerah Kabupaten dilingkungan Propinsi Jawa Barat maka kabupaten Karawang terpisah dari kabupaten Purwakarta dan Ibukotanya kembali di Karawang. Sedangkan BUpati Karawang masa itu dijabat oleh Raden Tohir Mangkudijoyo yang memerintah tahun 1950 - 1959, pada tahun 1950 atas persetujuan para Ulama dan Umat Islam, Mesjid Agung diperluas pada arah bagian depan dengan bangunan permanen ukuran 13 x 20 m ditambah menara ukuran kecil dan satu Kubah ukuran  3 x 3 m dengan tinggi 12 m, atap dari seng adapun luas tanah mesjd termasuk makam adalah 2.230 m                             

 

KEMBALI A